Bacaan Liturgi : Why. 11:19a;12:1,3-6a,10ab; Mzm. 45:10c-12,16; 1Kor. 15:20-26; Luk. 1:39-56.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini bukan hari Minggu, namun kita merayakan secara lain misteri Paskah Yesus,
yang mengubah jalannya sejarah. Dalam diri Maria dari Nazaret, kita mengenali
sejarah kita: sejarah Gereja, yang terbenam dalam nasib bersama umat manusia.
Dengan mengambil rupa daging dalam diri Maria, Allah kehidupan — Allah
kebebasan — telah menaklukkan maut. Ya, hari ini kita merenungkan bagaimana
Allah mengalahkan maut — namun tak pernah tanpa kita. Ia meraja, tetapi
"ya" kita terhadap kasih-Nya dapat mengubah segalanya. Di kayu salib,
Yesus dengan bebas mengucapkan "ya" yang akan melucuti kuasa maut —
maut yang masih menjalar di mana pun tangan kita tersalib dan hati kita tetap
terpenjara oleh rasa takut dan ketidakpercayaan. Di kayu salib, kepercayaan menang;
demikian pula kasih, yang melihat apa yang akan datang; dan pengampunan menang.
Maria
hadir di sana, bersatu dengan Putranya. Di zaman kita, kita seperti Maria
setiap kali kita tidak melarikan diri, setiap kali kita menjadikan
"ya" Yesus sebagai "ya" kita. "Ya" itu masih
hidup dan menolak maut dalam diri para martir zaman kita, dalam kesaksian iman
dan keadilan, kelembutan dan perdamaian. Maka, hari sukacita ini juga menjadi
hari yang memanggil kita untuk memilih – bagaimana dan untuk siapa kita akan
hidup.
Perayaan
liturgi Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga menawarkan kita Bacaan
Injil tentang kunjungan Maria. Santo Lukas mencatat dalam bacaan ini sebuah
momen yang menentukan dalam panggilan Maria. Sungguh indah mengenang hari itu,
saat kita merayakan momen puncak kehidupannya. Setiap kisah manusia, bahkan
kisah Bunda Allah, singkat di bumi ini dan akan berakhir. Namun tidak ada yang
hilang. Ketika sebuah kehidupan berakhir, keunikannya bahkan bersinar lebih
jelas. Magnificat, yang dalam Bacaan Injil ditempatkan di bibir Maria yang
masih belia, sekarang memancarkan terang seluruh harinya. Satu hari saja — hari
ia bertemu sepupunya Elisabet — mengandung benih dari setiap hari lainnya, dari
setiap musim lainnya. Dan kata-kata saja tidak cukup; sebuah kidung dibutuhkan,
kidung yang terus dinyanyikan dalam Gereja “turun-temurun” (Luk 1:50), di
setiap penghujung hari. Kesuburan yang mengejutkan dari Elisabet yang mandul
meneguhkan kepercayaan Maria; mengantisipasi kesuburan jawaban "ya"-nya,
yang juga mencakup kesuburan Gereja dan seluruh umat manusia setiap kali Sabda
Allah yang memperbarui disambut. Hari itu, dua perempuan bertemu dalam iman,
lalu tinggal bersama selama tiga bulan untuk saling mendukung, bukan hanya
dalam hal-hal praktis tetapi juga cara baru dalam membaca sejarah.
Maka,
saudara-saudari terkasih, kebangkitan memasuki dunia kita bahkan hingga hari
ini. Kata-kata dan pilihan kematian mungkin tampak menang, tetapi kehidupan
Allah menerobos keputusasaan kita melalui pengalaman nyata persaudaraan dan
gestur solidaritas yang baru. Sebelum menjadi takdir akhir kita, kebangkitan
mengubah rupa — dalam jiwa dan raga — tempat tinggal kita di bumi. Kidung
Maria, Magnificat, menguatkan pengharapan orang-orang yang rendah hati, lapar,
dan hamba-hamba Allah yang setia. Mereka adalah para pria dan wanita Sabda
Bahagia yang, bahkan dalam kesengsaraan, sudah melihat yang tak terlihat:
orang-orang berkuasa diturunkan dari takhta mereka, orang-orang kaya diusir
dengan tangan hampa, janji-janji Allah digenapi. Pengalaman-pengalaman semacam
itu seharusnya ditemukan dalam setiap komunitas kristiani.
Pengalaman-pengalaman itu mungkin tampak mustahil, tetapi Sabda Allah terus
dinyatakan. Ketika ikatan lahir, yang dengannya kita menghadapi kejahatan dengan
kebaikan dan kematian dengan kehidupan, kita melihat bahwa tidak ada yang
mustahil bagi Allah (bdk. Luk 1:37).
Terkadang,
sayangnya, ketika kecukupan diri manusia merajalela, ketika kenyamanan materi
dan rasa puas diri menumpulkan hati nurani, iman ini dapat menjadi usang.
Kemudian kematian datang dalam bentuk kepasrahan dan keluhan, nostalgia dan
ketakutan. Alih-alih membiarkan dunia lama berlalu, kita masih berpegang teguh
padanya, mencari pertolongan orang kaya dan berkuasa, yang seringkali disertai
dengan penghinaan terhadap orang miskin dan kecil. Namun, Gereja hidup dalam
anggota-anggotanya yang rapuh, dan diperbarui oleh Magnificat mereka. Bahkan di
zaman kita, komunitas-komunitas kristiani yang miskin dan teraniaya, para saksi
kelembutan dan pengampunan di tempat-tempat pertikaian, dan para pembawa damai
serta pembangun jembatan di dunia yang hancur, adalah sukacita Gereja. Mereka
adalah kesuburannya yang abadi, buah-buah sulung Kerajaan yang akan datang.
Banyak dari mereka adalah perempuan, seperti Elisabet yang lanjut usia dan
Maria yang masih belia — perempuan-perempuan Paskah, para rasul kebangkitan.
Marilah kita ditobatkan oleh kesaksian mereka!
Saudara-saudari,
ketika dalam kehidupan ini kita “memilih kehidupan” (Ul 30:19), kita sungguh
melihat dalam diri Maria, yang diangkat ke surga, takdir kita. Ia diberikan
kepada kita sebagai tanda bahwa kebangkitan Yesus bukan peristiwa yang
terasing, bukan sekadar pengecualian. Di dalam Kristus, kita juga dapat
“menelan maut” (bdk. 1 Kor 15:54). Memang, itu adalah karya Allah, bukan karya
kita. Namun Maria adalah persatuan rahmat dan kebebasan yang menakjubkan, yang
mendorong kita masing-masing untuk memiliki kepercayaan, keberanian, dan
partisipasi dalam kehidupan umat Allah. “Yang Maha Kuasa telah melakukan
perbuatan-perbuatan besar kepadaku” (Luk 1:49): semoga kita masing-masing
mengetahui sukacita ini dan mewartakannya dengan nyanyian baru. Janganlah kita
takut memilih kehidupan! Mungkin tampak berisiko dan ceroboh. Banyak suara
berbisik: “Untuk apa repot-repot? Lupakan saja. Pikirkan kepentinganmu
sendiri.” Ini adalah suara-suara maut. Tetapi kita adalah murid-murid Kristus.
Kasih-Nyalah yang menggerakkan kita — jiwa dan raga — di zaman kita. Sebagai
individu dan Gereja, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri. Inilah —
dan hanya inilah — yang menyebarkan kehidupan dan memungkinkan kehidupan
berjaya. Kemenangan kita atas maut dimulai di sini dan saat ini.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 15 Agustus 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.